Minggu, 06 Januari 2013

NISHFU SYA’BAN



PERINGATAN MALAM NISHFU SYA’BAN

        Sebagian umat Islam ada yang memperingati malam nisfhu Sya’ban (malam ke-15 bulan Sya’ban) dengan cara menyelenggarakan berbagai macam acara dan ibadah pada malam tersebut. Untuk mendapatkan keterangan yang jelas mengenai hal ini, maka kami akan menengahkan sebuah ringkasan tulisan seorang ulama’ besar, Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz, ketua kibarul ulama’ dan panitia tetap riset dan fatwa Arab Saudi, yang kepadanyalah mayoritas ulama konteporer merujuk dalam berbagai persoalan pelik. Selamat mengikuti.

Segala puji hanyalah milik Allah, yang telah menyempurnakan agamaNya kepada kita. Selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alahi wa sallam, penyeru kepada pintu tauhid dan pembawa rahmat. Amma ba’du.

Allah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Kucukupkan nikmatKu dan telah Kuridhoi Islam itu sebagai agama bagimu” (Al-Maidah: 3). Nabi sallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik jalan hidup adalah jalan hidup Muhammad, dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang diada-adakan (bid’ah), dan setiap bid’ah itu sesat” (HR. Muslim).

Dan masih banyak lagi ayat dan hadits senada yang menunjukkan bahwa Allah telah menyempurnakan Agama ini. Dia tidak mewafatkan Nabinya sallallahu ‘alahi wa sallam kecuali sesudah beliau telah menyampaikan risalah dan menjelaskan kepada ummat seluruh syari’at Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Beliau juga menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diada-adakan oleh orang sepeninggalnya (dalam masalah agama) dan dinisbatkan kepada ajaran Islam, baik berupa ucapan maupun perbuatan, semua adalah bid’ah yang tertolak, meskipun orang yang mengada-adakannya berniat baik.

Para sahabat Rasullullah sallallahu ‘alahi wa sallam dan ulama’ yang datang setelah mereka mengetahui hal ini. Maka mereka mengingkari segala macam bid’ah dan memperingati kita agar menjauhinya.

Diantara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang adalah bid’ah peringatan malam nishfu Sya’ban sedang pengkhususan puasa pada hari tersebut. Padahal tidak ada satu dalilpun yang dapat dijadikan sandaran. Ada hadits-hadits tentang fadhilah (keutamaan) malan ini, akan tetapi dho’if (lemah), tidak boleh dijadikan sandaran. Sedangkan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan sholat pada malam ini adalah maudhu’ (palsu).

Memang ada beberapa riwayat tentang malam nisfu Sya’ban yang berasal dari sebagian salaf (pendahulu) penduduk Syan dan lainnya, tetapi pendapat yang dianut jumhur (mayoritas) ulama’ ialah peringatan malam nishfu Sya’ban adalah bid’ah dan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaannya semua dho’if (lemah) dan sebagian lagi maudhu’ (palsu). Diantara ulama yang memperingatinya hal tersebut adalah Al-Hafizh Ibn Rajab dalam kitabnya Latha’iful Ma’aif dan ulama-ulama lainnya.

Hadits-hadits dho’if hanya bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh dalil yang shohih. Adapun peringatan malam nishfu Sya’ban tidak ada hadits shohih yang mendasarinya, sehingga hadits-hadits dho’if itu tidak dapat dijadikan sebagai pendukungnya.

Para ulama telah sepakat, bahwa wajib mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh kedua sumber ini atau salah satu darinya, maka wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan . Sedang apapun ibadah yang tidak disebut oleh keduanya adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan, apalagi mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya. (QS. 4:59, 42:10, 3:31, 4:65).

Tentang masalah nishfu Sya’ban Ibn Rajab dalam kitabnya Latha’iful Ma’arif mengatakan: “Para tabi’in dari ahli Syam (sekarang Syiria. red) seperti Kholid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir dan lainnya. Pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam nishfu Sya’ban, kemudian orang-orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka. Dikatakan pula, bahwa mereka melakukan perbuatan demikian karena adanya cerita-cerita isra’illyat. Tatkala masalah ini menyebar ke berbagai negeri, berselisihlah kaum muslimin, ada yang menerima dan menyetujuinya, ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah para ahli ibadah dari Bashrah dan kota lainnya. Sedangkan golongan yang mengingkarinya yaitu sebagian besar ulama’ hijaz, seperti Atha’ Ibn Abi Malaikah dan –menurut penukilan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam- para fuqoha’ (ahli fiqih) Madinah, in juga merupakan pendapat para pengikut Imam Malik dan lainnya. Menurut mereka, semua perbuatan ini adalah bid’ah.

Ibn Rajab selajutnya berkata, tidak ada suatu ketetapan apapun tentang masalah nishfu Sya’ban ini baik dari sallallahu ‘alahi wa sallam maupun dari para sahabat. Adapun pendapat imam Al-Auza’i tentang (dianjurkan) sholat malam nishfu Sya’ban, maka hal ini aneh dan lemah. Karena segala perbuatan, bila tidak ada dalil syar’i yang menetapkannya, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakannya, baik itu dikerjakan secara individu maupun kolektif (berjama’ah), secara sembunyi maupun terang-terangan. Berdasarkan keumuman hadits Nabi sallallahu ‘alahi wa sallam: “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tertolak.” (HR. Muslim) serta dalil-dalil lainnya yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.

Imam Abu Bakar Ath-Thurthusyi rahimahullah dalam kitabnya Al-Hawadits wal Bida’ mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dari Zaid bin Aslam, katanya: “Kami tidak menjumpai seorangpun dari guru kamu dan ahli fiqih kami yang memperingati malam Nishfu Sya’ban, ataupun mengindahkan hadits Makhul. Merekapun tidak memandang adanya keutamaan pada tersebut dari malam-malam lainnya. 

Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Zaid An-Numairi menyatakan: “Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam nishfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar.”Beliau serta menjawab: “Seandainya saya mendengarnya sedang ditangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Zaid adalah seorang pendongeng.” 

Al-Allamah Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid Al-Majmu’ah berkata. Hadits “Wahai Ali siapa yang melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat, pada setiap rakaat ia membaca Al-Faatihah dan Qu huwallahu ahad sebanyak sepuluh kali, pada Allah memenuhi segala hajatnya…dst.” Hadits ini adalah Maudhu. Lafadznya yang menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya tidak diragukan lagi kelemahannya bagi orang yang berakal. Sanadnya pun Majhul (tidak dikenal). Telah diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, tetapi semuanya Maudhu, dan para periwayatnya adalah orang-orang yang tidak dikenal.”

Dalam Kitab Al-Mukhtashar, Asy-Syaukani menyatakan: “Hadits yang menerangkan Shalat nishfu Sya’ban adalah bathil. Sedangkan hadits: “Jika datang malam nishfu Sya’ban maka shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya” yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ali adalah Dha’if.”

Dalam Kitab Al-La’ali dinyatakan, hadits: “Seratus rakaat pada malam nishfu Sya’ban dengan ikhlash pahalanya sepuluh kali lipat”, yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami adalah Maudhu dan mayoritas periwayatnya pada ketiga jalan hadits ini adalah orang-orang yang majhul dan dha’if. Kata Imam Syaukani: “Hadits yang menerangkan, du belas rakaat dengan ikhlash pahalanya tiga puluh kali lipat dan hadits empat belas rakaat dst, adalah Maudhu.”

Diantara para Fuqaha (alhi fiqh) ada yang tertipu dengan hadits-hadits diatas, seperti pengarang Ihya ‘Ulumuddin dan lainnya, juga sebagian ahli tafsir.

Al-Hafidz Al-Iraqi menyatakan: “Hadits yang menerangkan tentang shalat nishfu Sya’ban adalah Maudhu dan pendustaan atas diri Rasullullah sallallahu ‘alahi wa sallam.

Dalam Kitab Al-Majmu’, Imam An-Nawawi (penulis Kitab Riyadhus Sholihin dan Hadis Arba’in) menyatakan: “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib yang berjumlah dua belas rakaat dan dikerjakan antara maghrib dan isya pada malam jumat pertama bulan Rajab, serta shalat malam nishfu sya’ban yang berjumlah seratus rakaat adalah bid’ah yang mungkar, tidak boleh seseorang terperdaya oleh karena kedua shalat itu disebut dalam Kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin, atau karena berdasarkan hadits yang disebutkan pada kedua kitab tersebut, sebab semuanya adalah bathil. Tidak boleh seseorang terperdaya oleh ulah sebagian tokoh, yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini, lalu mengarang dalam beberapa lembar kertas untuk menganjurkannya. Ini adalah tindakan menipu.”

Masih banyak ucapan para ulama dalam hal ini. Kalau kita mau menukil semua tentu akan panjang sekali. Semoga apa yang kami sebutkan diatas cukup memuaskan bagi pencari kebenaran.

Dari beberapa ayat Al-Qur’an, hadits dan pernyataan para ulama diatas, jelaslah bagi pencari kebenaran bahwa peringatan malam nishfu Sya’ban dengan shalat atau amalan lainnya, serta pengkhususan siang harinya dengan puasa itu semua adalah bid’ah yang mungkar menurut jumhur ulama, tidak ada dasar sandarannya dalam syari’at Islam, bahkan merupakan perbuatan yang diada-adakan, cukuplah bagi pencari kebenaran dalam masalah ini, juga masalah lainnya firman Allah: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu…” (Al-Maidah: 3)

Andaikata malam nishfu Sya’ban dikhususkan dengan acara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi sallallahu ‘alahi wa sallam memberikan petunjuk pada umatnya, atau beliau sendiri yang mengerjakannya. Dan jika hal itu memang pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia yang paling tulus setelah para nabi. Maka jelaslah, memperingati malam nisfu Sya’ban adalah bid’ah.

Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita dan kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada sunnah dan menetapinya, serta mewaspadai hal-hal yang bertentangan dengannya. Sungguh dia Maha Mulia dan Maha Pemberi. Wallahu a’lam.
Sumber bacaan: At-Tahdzir minal bida’



Tidak ada komentar:

Posting Komentar