DZIKIR BERJAMA’AH
Oleh : Abu Abdullah
AlhamduliLLAAHi wash Shalatu was Salamu
‘ala RasuliLLAAHi wa ‘ala ‘alihi,
Ikhwah wa akhwat fiLLAAH,
Permasalahan yang ingin kami bahas
berkaitan dengan tema wirid/dzikir adalah berkaitan dengan kayfiyyat
(tatacara) membacanya, karena banyak orang yang mempertanyakan mengapa sebagian
ikhwah ada yang membacanya sendiri-sendiri (dan ini disepakati kesunnahannya),
namun adapula yang membacanya secara berjama’ah (bersama-sama) bukankah cara
yang kedua ini termasuk bid’ah?
Dalam kesempatan ini ana akan mencoba
membahas (sesuai dengan kebiasaan ana) yaitu menjelaskan duduk permasalahan
serta metode istinbath (pengambilan hukum) yang dilakukan para ulama salaf dari
Al-Qur’an & As-Sunnah. Dan setelah itu ana akan mencoba menjelaskan
bagaimana sampai terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat di kalangan salaf)
tentang masalah tsb.
Dan dalam masalah ini ana akan konsisten
untuk menjelaskan duduk masalah ikhtilaf di kalangan mereka tsb sepanjang ia
masih disandarkan pada dalil yang shahih. Dan sekali lagi, tsumma sekali lagi,
ana akan konsisten mengajak ummat ini untuk mengetahui letak perbedaan pendapat
tsb dan ana tidak akan mengarah-arahkan ummat pada satu pendapat tertentu atau
kesimpulan tertentu yang ana pilih ataupun sesuai dengan pendapat Syaikh Fulan
atau Lajnah Fulan yang “lebih baik” dari pendapat Si Fulan atau Hizb Fulan.
Sebab sebagaimana dikatakan oleh
Fadhilatu Syaikh DR Yusuf Al-Qaradhawi –hafizhahuLLAAH- bahwa terjadinya
ta’ashub (fanatik) golongan & tafarruq di antara ummat [1] bukan disebabkan
karena banyaknya kelompok, partai, dan hizb, melainkan pangkal mula dari para
muta’ashshibin tsb adalah jika suatu kelompok sudah merasa dirinya “paling
benar” atau “paling berhak” untuk menafsirkan atau menyimpulkan hukum dan
kemudian mulai membawa “palu bid’ah” atau “mukhalifu-sunnah” untuk dipukulkan
kepada mereka yang berbeda dengannya.
Kembali ke pokok tema kita hari ini.
Tentang pendapat yang menganjurkan untuk dzikir secara sendiri-sendiri dengan
tidak berjama’ah atau tidak dalam satu suara, ana tidak akan membahasnya
disini, karena insya ALLAAH hal ini sudah muttafaq ‘alayh (disepakati adanya).
Namun yang akan ana bahas adalah mengenai adakah dalilnya bagi mereka yang
berdzikir secara berjama’ah menurut Al-Qur’an, As-Sunnah serta mafahim Ulama
Salafus Shalih? Jawabannya bi-idzniLLAAH adalah sbb;
DALIL AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA:
وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ
مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ
فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang
yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki
keridhaanNya. kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan
mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap
perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu
termasuk orang-orang yang zalim).” [2]
Berkata Imam Abu Ja’far dalam tafsirnya
[3], para ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna “ad-du’a” yang
dipanjatkan oleh para kaum dhu’afa tsb. Ada yang memaknainya shalat fardhu, ada
yang memaknainya tempat di-shaff belakang saat shalat berjama’ah, dan ada yang
memaknainya PARA AHLI DZIKIR, dan ada pula yang memaknainya mempelajari
Al-Qur’an & membacanya, dan ada pula yang mengartikannya ibadah mereka.
Lalu Imam At-Thabari menguatkan bahwa maknanya adalah berdoa kepada ALLAAH baik
dengan memujinya, mensucikannya baik melalui lisan dan perbuatan [4].
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ
الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا
تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ
فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadaannya itu melewati batas.” [5]
Imam Abu Ja’far berkata bahwa maknanya
ialah: “Bersabarlah engkau wahai Muhammad bersama para sahabatmu dalam bertasbih,
bertahlil, bertahmid, berdoa dan beramal shalih (baik dengan shalat fardhu
maupun sunnah) yang kesemuanya itu untuk mengharapkan keridhoan ALLAAH SWT dan
tidak mengharapkan dengan semua perbuatan tsb keuntungan sesaat di dunia saja.”
[6]
Berkaitan dengan makna yang kita pilih
(dzikir bersama dalam satu majlis) dalam konteks ini Imam Abu Ja’far
–rahimahuLLAAH- meriwayatkan sebuah hadits sbb; “Telah menceritakan kepada kami
Ar-Rabi’ bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahhab, mengkabarkan
padaku Usamah bin Zaid, dari Abu Hazim, dari AbduRRAHMAN bin Sahl bin Hunaif,
dari AbduRRAHMAN bin Sahl bin Hunaif berkata bahwa ayat ini turun saat nabi SAW
sedang berada di salah satu rumah istrinya, maka beliau SAW segera keluar dan
menemui suatu kaum sedang sama-sama berdzikir kepada ALLAAH SWT, dst…, lalu
beliau SAW ikut duduk bersama mereka…” [7]
Imam – Muhyis Sunnah - Abu Muhammad
Al-Baghawi juga meriwayatkan hadits senada dengan ini dalam tafsirnya[8] dari
Qatadah RA: “Ayat ini turun berkenaan dengan Ahlus Shuffah, yaitu sekitar 700
orang shahabat di masjid nabi SAW yang (tidak punya pekerjaan tetap), tidak
berdagang, tidak bertani & tidak memerah susu, sehingga mereka sering
menyambung shalat & menunggu antara waktu-waktu shalat menunggu (dengan
berdzikir & berdoa), dst.” [9]
DALIL AS-SUNNAH DAN SYARAH-NYA:
إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً
يَطُوفُونَ فِى الطُّرُقِ ، يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ ، فَإِذَا وَجَدُوا
قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ . قَالَ
فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا . قَالَ
فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهْوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِى قَالُوا
يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ ، وَيُكَبِّرُونَكَ ، وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ
. قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِى قَالَ فَيَقُولُونَ لاَ وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ
. قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِى قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ
كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً ، وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا ، وَأَكْثَرَ لَكَ
تَسْبِيحًا . قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِى قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ .
قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا
رَأَوْهَا . قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ
لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا ، وَأَشَدَّ لَهَا
طَلَبًا ، وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً . قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ
يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ . قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لاَ
وَاللَّهِ مَا رَأَوْهَا . قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ
يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا ، وَأَشَدَّ لَهَا
مَخَافَةً . قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّى قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ . قَالَ
يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ فِيهِمْ فُلاَنٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا
جَاءَ لِحَاجَةٍ . قَالَ هُمُ الْجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ
“Sesungguhnya ALLAAH SWT memiliki para
Malaikat yang selalu berkeliling kemana-mana untuk mencari para Ahli Dzikir,
apabila mereka menjumpai SEKELOMPOK KAUM YANG SEDANG BERDZIKIR kepada ALLAAH
SWT maka merekapun saling berseru: Ayo kesini! Inilah kebutuhan yang kita cari!
Lalu merekapun membentangkan sayap & menyelimuti mereka dengan
sayap-sayapnya hingga sampai ke langit dunia. Maka ALLAAH SWT bertanya pada
mereka (padahal IA lebih mengetahui dari mereka): Apa yang dikatakan oleh para
hamba-hamba-KU itu? Maka jawab para malaikat: Mereka semua bertasbih,
bertakbir, bertahmid memuliakan ENGKAU. Maka ALLAAH SWT berfirman: Apakah
mereka bisa melihat-KU? Maka jawab para malaikat: Tidak demi ALLAAH mereka
tidak bisa melihat-MU. Maka firman ALLAAH SWT: Bagaimana jika mereka bisa
melihat-KU? Jawab Malaikat: Jika mereka dapat melihat-MU maka mereka akan lebih
hebat lagi beribadah, memuliakan, bertasbih. Maka firman-NYA: Apa yang mereka
minta? Jawab Malaikat: Mereka meminta Jannah. Firman-NYA: Apakah mereka sudah melihatnya?
Jawab malaikat: Belum demi ALLAAH mereka belum pernah melihatnya. Maka
firman-NYA: Bagaimana jika mereka melihatnya? Jika mereka pernah melihatnya
niscaya mereka akan lebih lagi menginginkan, memintanya dan mengejarnya.
Firman-NYA: lalu terhadap apa mereka meminta perlindungan? Jawab Malaikat:
Terhadap neraka. Firman-NYA: Apakah mereka sudah melihatnya? Jawab Malaikat:
Belum demi ALLAAH mereka belum pernah melihatnya. Maka firman-NYA: Bagaimana
jika mereka melihatnya? Jika mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan lebih
lagi melarikan diri, merasa takut kepadanya. Firman-NYA: Maka saksikanlah oleh
kalian bahwa aku telah mengampuni mereka semua. Maka berkata salah satu
Malaikat: Disana ada Fulan yang bukan termasuk mereka, ia Cuma datang karena ada
keperluan saja. Firman-NYA: Mereka ada dalam satu majlis, maka tidak rugilah
orang yang ada dalam majlis tsb.” [10]
Berkata Imam –Al-Hafizh- Ibnu Hajar
Al-Asqalaniy dalam syarah-nya atas hadits ini sbb: “Bahwa yang dimaksud majlis
Dzikir adalah majlis berdzikir kepada ALLAAH SWT seperti bertasbih, bertakbir,
tilawah Qur’an, berdoa untuk kebaikan dunia & akhirat, membacakan
hadits-hadits Nabi SAW, mempelajari ilmu-ilmu syariat, berkumpul untuk
melakukan shalat sunnah, dst… (sampai kata-katanya) dan ini menunjukkan
keutamaan Majlis Dzikir dan MAJLIS ORANG-ORANG YANG BERDZIKIR dan KEUTAMAAN
BERKUMPUL UNTUK MELAKUKAN ITU SEMUA.” [11]
Berkata Imam Ibnu Baththal dalam
syarah-nya: “Dzikir itu ada dua macam. Pertama adalah dengan mengingat perintah
& larangan-NYA, dan kedua adalah berdzikir dengan lisan. Kedua jenis dzikir
tsb mendapatkan pahala.. dst, sampai kata-katanya: Keutamaan pada keduanya itu,
pahala & kemuliaannya itu lebih besar lagi jika melakukannya secara
bersama-sama (ijtima’)…” [12]
لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ
يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ
اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah duduk suatu kaum untuk
berdzikir kepada ALLAAH ‘Azza wa Jalla, kecuali Malaikat menutupi mereka
(dengan sayap-sayap mereka), mereka pun diliputi oleh kasih sayang ALLAAH SWT,
dan turun ketenangan dari sisi ALLAAH dan ALLAAH menyebut (nama-nama) mereka di
kalangan para malaikat yang disisi-NYA.” [13]
Berkata Imam An-Nawawi –rahimahuLLAAH-
dalam kitab syarah-nya sbb [14]: “Dalam hadits ini jelas disebutkan tentang
keutamaan berdzikir & keutamaan Majlis-majlis untuk itu, duduk-duduk
bersama ahli dzikir sekali pun ia tidak BERDZIKIR BERSAMA-BERSAMA MEREKA, serta
keutamaan majlis orang-orang shalih serta barakah bersama mereka, waLLAAHu
a’lam.”
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى ، فَإِنْ
ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى ، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ
ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ
تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ
إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Berfirman ALLAAH SWT (dalam hadits
Qudsiy): AKU tergantung prasangka hamba-KU terhadap-KU, dan aku bersamanya jika
ia mengingat-KU, jika ia mengingat-KU di dalam hatinya maka aku mengingatnya di
dalam hati-KU, dan jika ia mengingat-KU DALAM SUATU KELOMPOK maka AKU
mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari mereka, dan jika ia mendekat
sejengkal maka AKU mendekat padanya sehasta, jika ia mendekat sehasta maka AKU
mendekat padanya sedepa, dan jika ia mendekat pada-KU dengan berjalan maka AKU
mendekat padanya dengan berlari.” [15]
Berkata Imam Ibnu Hajar bahwa makna
“Mala’in” adalah jama’ah [16]; demikian pula pendapat Imam Al-Aini dlm
syarah-nya terhadap hadits ini [17]. Pengarang Tuhfatul Ahwadzi menambahkan
[18]: “Yaitu berdzikir bersama jama’ah kaum muslimin ataupun di hadapan
mereka.” Sekedar menambahkan sampai Imam An-Nawawi –rahimahuLLAAH- dalam
kitabnya yang terkenal Riyadhus-Shalihin mengumpulkan beberapa hadits dalam bab
[19] yang diberinya judul “Keutamaan Halaqah Dzikir & Disunnahkan Komitmen
Dengannya Serta Dilarang Memisahkan Diri Darinya Tanpa Adanya Uzur”, tentunya
kita memahami bahwa yang disebut halaqah dzikir bisa dimaknai orang yang
berdzikir bersama-sama dalam satu jama’ah, sekalipun makna berdzikir
sendiri-sendiri di suatu tempat bisa juga diterima.
Demikianlah wahai ikhwah wa akhawat
fiLLAAH, a’anakumuLLAAHa jami’an, apa yang ana sampaikan ini tidaklah berarti
menafikan keutamaan dzikir masing-masing (munfarid), bahkan sebenarnya inilah
yang lebih utama & lebih sering dilakukan oleh kalangan Salaf. Namun
jikapun ada yang melakukannya secara bersama-sama maka hendaklah tidak dianggap
bid’ah, karena masalah ini merupakan makanul-khilaf, karena sebagaimana saya
tunjukkan bahwa dalil-dalil yang ada masih memungkinkan adanya perbedaan dalam
penafsiran, sehingga yang dapat kita lakukan adalah memilih salah satu pendapat
yang lebih kuat (berdasarkan penelitian) tapi menghormati bagi yang ingin
memilih pendapat yang lain.
WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab…
Catatan Kaki:
[1] Lih. Kitab beliau Ash-Shahwah
Al-Islamiyyah Bayna Al-Ikhtilaf Al-Masyru’ wat Tafarruq Al-Madzmum.
[2] QS Al-An’am, 6/52
[3] Imam At-Thabari, Jami’ul Bayan Fi
Ta’wilil Qur’an, XI/381
[4] Ibid, XI/387
[5] QS Al-Kahfi, 18/28
[6] Op.cit, XVIII/5
[7] Ibid, XVIII/6; Saya berkata: Hadits
ini Rijal-nya di-taustiq oleh Imam Ibni Hajar Al-Haitsami dlm kitabnya Majma’uz
Zawa’id (VI/384, hadits no. 10998) sbb : “Hadits ini di-takhrij oleh Imam
At-Thabrani dan Rijal-nya adalah Rijal Shahih.”
[8] Ma’alimut Tanzil, V/166
[9] Lih. Juga tafsir Ad-Durrul Mantsur,
V/380 dan Ibnu Katsir, III/82
[10] Al-Jami’us Shahih Lil-Bukhari,
XXI/252
[11] Fathul Bari’ Libni Hajar, XVIII/212
no. 5929
[12] Syarh Ibnu Baththal, XIX/184
[13] Shahih Muslim, XVII/312, bab
“Keutamaan Ijtima’ (Berkumpul) Membaca Al-Qur’an dan Berdzikir”
[14] Syarhun Nawawi ‘Ala Muslim, XVII/15
[15] HR Bukhari, XXIV/246 bab “Wa
YuhadzdzirukumuLLAAHu Nafsah” no. 7404; Muslim, XVII/253 bab “Al-Hatstsu ‘Ala
DzikriLLAAHi Ta’ala” no. 6981
[16] Fathul Bari’, XX/481 no. 6856
[17] Umdatul Qariy, XXXVI/38
[19] Riyadhus Shalihin, Kitabul Adzkar,
Bab Fadhlu Halqudz Dzikri Wan Nadbu Ila Mulazamatiha, hal. 424
Tidak ada komentar:
Posting Komentar