Selasa, 19 November 2013

Kandungan Syahadat Bagian Kedua



KANDUNGAN SYAHADAT
(Bagian kedua dari tiga tulisan)

Penulis    :  Supriyanto, S.Pd
                   Direktur Lembaga Pendidikan Islam At-Taqwa
Webblog :  at-taqwabambe.blogspot.com
E-mail      :  at.taqwabambe@gmail.com

Pada bagian pertama telah dijelaskan bahwa dalam terminologi bahasa Arab, syahadat memiliki 3 makna , yaitu : Al-I’lan (pernyataan, pengumuman atau proklamasi), al-wa’du (janji) dan al-qassam (sumpah). Ketiga makna tersebut adalah saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga menyatu dalam sebuah makna yang dasyat ketika dimaksudkan kepada kalimat yang menjadi pintu masuk dalam agama Islam tersebut.

Akan tetapi, sebagai orang beriman belumlah cukup hanya bersyahadat dengan cara seperti di atas. Hal itu karena ketiga makna tadi baru mengacu pada satu unsur saja dari syahadat, yaitu unsur pernyataan lisan. Sebagaimana pernah datang kepada Rasulullah SAW sekelompok orang yang menyatakan keimanannya dengan cara demikian, maka kemudian beliau meresponnya dengan firman Allah SWT berikut ini

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (Qs.Al-Hujurat 49: 14-15)

Dari kedua ayat di atas terlihat bahwa syahadat yang dilakukan oleh orang mukmin harus memenuhi tiga unsur, yaitu : Pertama, Qaulan bil lisan (pernyataan dengan lisan), maksudnya adalah dengan menyatakan kalimat “Asyhadu Alla Ilaaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadar  Rasulullah” (Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah).

Pernyataan ini harus dinyatakan dengan jelas, tegas dan sungguh-sungguh tanpa keraguan sedikitpun. Jangan sampai pernyataan itu hanya sebatas kepura-puraan saja sebagaimana pernyataan orang-orang munafiq.
   
“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Qs.Al-Baqarah 2:8)

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.”(Qs. Al-Munafiqun 63:1-2)

Kedua : Tashdiiqan bil qalby (membenarkan / keyakinan dengan hati) yang maknanya adalah membenarkan pernyataan syahadat itu dengan tulus ikhlas disertai dengan ilmu dan keyakinan yang mendalam serta kesiapan untuk menerima dan melaksanakan semua konsekuensi dari pernyataan syahadat tersebut. Termasuk didalamnya kesiapan untuk  menerima dan melaksanakan semua yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Ketiga, ‘Amalu bil arkan (diamalkan dengan perbuatan). Bagi orang beriman yang telah bersyahadat, tidak ada pilihan selain keharusan untuk melaksanakan dan mengamalkan semua yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT sebagaimana telah dijelaskan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Artinya, orang-orng beriman haruslah melaksanakan semua syari’at Islam secara total (kaaffah/syamil) tidak boleh sepotong-sepotong atau setengah-setengah. 
   
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Baqarah 2: 208).

Ketiga unsur tersebut tidak terpisahkan sama sekali. Ketiganya harus dipahami secara utuh. Seorang muslim yang telah bersyahadat, tetapi tidak membenarkan syari’at Islam dalam hatinya bahkan malah membencinya meskipun kelihatannya dia mengamalkan sebagian ajaran Islam, maka dia pada hakekatnya adalah seorang munafiq yang terlaknat. Sedangkan apabila seorang muslim yang telah meyakini kebenaran Islam dan menyatakannya dengan syahadat tetapi tidak mau mengamalkan syari’at Islam itu dalam kehidupannya, maka sejatinya dia adalah seorang munafiq ‘amaly. Karena sifat nifaq (kemunafikan) dapat terjadi sementara terhadap seorang muslim oleh karena berdusta, menyalahi janji dan berkhianat.

Semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang mukmin yang mampu melaksanakan syahadat dengan benar, dan tidak terjerumus kedalam lubang kemunafikan karena melaksanakan Islam secara setengah-setengah saja.

Bersambung ke bagian ketiga, Insya Allah…..

Fiqih Sholat : Menguap dan Memejamkan Mata Ketika Sholat



MENGUAP KETIKA SHALAT

Pertanyaan:
ustadz, jika kita menguap ketika sedang shalat, apakah yang lebih baik menutup mulut dengan tangan atau membiarkan mulut terbuka? Zakia

Jawaban:                                                               
Menguap termasuk perbuatan yang dilarang dalam sholat tetapi tidak membatalkan. Oleh karena itu, jika seseorang menguap ketika sholat, maka ia diharuskan untuk menahan sekuatnya kalau tidak sanggup, ia boleh menutup mulutnya dengan tangan.

Rasulullah SAW bersabda:
Apabila salah seorang diantara kalian menguap ketika sholat, maka hendaklah ia menahan (agar tidak menguap) semampunya karena syetan akan masuk (HR. Muslim No. 2995)

Para ulama berkata:
Perintah untuk menahan untuk tidak menguap serta menolaknya juga perntah untuk menaruh tangan di mulut bertujuan agar syetan tidak sampai kepada maksudnya sehingga syetan tidak bisa mengganggu, memasuki mulut orang tersebut dan juga tidak bisa mentertawakannya (Syarah Shahih Muslim An-Nawawi 18/)

Sumber : SCC-PKS

SHALAT DENGAN MEMEJAMKAN MATA

Pertanyaan:
 
Lebih afdhal mana sih shalat dengan memejamkan mata atau mata memandang tempat sujud. Mohon dicarikan haditsnya Saya lebih khusyu bila memejamkan mata karena jika tidak pandangan mata saya terganggu oleh sajadah/alas shalat yang bergambar masjid. Bagaimana sih hukumnya alas shalat yang bergambar masjid tersebut, apakah makruh? Saya lihat banyak sajadah yang bergambar masjid dan itu mengganggu shalat.  Kaka

Jawaban:

Sholat adalah ibadah mahdloh yang telah diatur syarat dan rukunnya dalam agama. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk mengikuti segala aturan yang berkaitan dengan tata cara sholat berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW yang tercantum dalam hadis-hadis yang shohih.

Berkaitan dengan pertanyaan saudara tentang boleh tidaknya seseorang memejamkan matanya ketika sholat, Para ulama menyatakan bahwa hal tersebut dimakruhkan karena bertentangan dengan sunnah. Sebab dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa orang yang sedang melaksanakan sholat diperintahkan agar melihat tempat sujud. Kecuali ketika sedang tasyahud disunahkan untuk mengarahkan pandangan ke telunjuk.


Dari Ibnu Sirin berkata :
Sesungguhnya Nabi SAW membolak-balikan pandangannya ke langit kemudian turunlah ayat Mereka adalah orang-orang yang khusyu dalam sholat (QS. Al-Muminun :2) Lalu beliau menundukkan kepalanya (HR Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Hakim)

Imam Syaukani berkata :
Hadis Ibnu Sirin ini adalah mursal tetapi orang-orang yang meriwayatkannya semua terpercaya (tsiqoh) (Nailul Authar II/189)

Di samping itu, kebiasaan memejamkan mata ketika sedang sholat adalah menyerupai kebiasaan orang majusi ketika mereka sedang menyembah api, dan juga meyerupai orang-orang yahudi. (Abdulloh bin Abdurrahman Al-Jibrin/Shifatus-Sholah hal 27)




Sumber : SCC-PKS


Senin, 23 September 2013

Jadilah Telaga Atau Samudera

Jadilah Telaga atau Samudera, Wahai Aktivis!



Konon jauh dipedalaman belantara, ada sebuah telaga. Kerimbunan pohon memayungi tepinya, kerapatan perdu menyembuyikan kecantikannya. Beberapa ekor rusa anggun bertekuk lutut melipat kakinya, burung-burung membuat sarang di kanan-kirinya. Beberapa pucuk daun jatuh menyapa permukaannya, dan telaga itu beriak-riak membentuk lingkaran terus membesar sampai tepi-tepi yang kemudian hilang. Terdengar keributan hewan-hewan di sekitarnya, tetapi sayup-sayup. Suara yang paling nyata adalah desiran angin di atasnya, atau bunyi katak terjun menyelami kedalamannya. Atau sama sekali lenggang, ketika angin beristirahat bersama lelapnya alam sekelilingnya.

Telaga itu begitu tenang. Cuma ada riak-riaknya. Permukaanya yang bening mampu membuat langit dan isi alam sekelilingnya dapat berkaca.

Telaga itu di mana? Di buku-buku cerita peri yang sedang mengaso bersama kupu-kupu bersayap indah dan bersama kelinci-kelinci lucu? Atau berada pada legenda di ujung pelangi saat para bidadari turun mandi? Atau dalam cerita pewayangan tempat para ksatria memulai tapa brata?

Telaga itu, di mana pun, ada sungguhan atau tidak ada, sering begitu nyata dalam bangunan imajinasi manusia. Karena ketersembunyiannya, kesahajaanya, ketenangannya, tentu saja telaga paling banyak dicari bagi pengembara yang letih kehausan, yang terletak jauh di balik belantara, jauh di balik bumi, jauh di balik kedalaman jiwa.

Telaga siapakah? Jika Anda sedang lelah, telaga menjadi tempat terbaik untuk beristirahat dengan semilir anginnya. Jika Anda sedang haus, telaga sangat baik untuk direguk karena kesejukan dan higienis airnya begitu alami. Jika Anda merasa hampa, telaga adalah cermin tempat ditemukanya kembali makna-makna. Telaga sendiri adalah sunyi yang cukup bagi dirinya sendiri, ketika Anda tengah kehilangan orientasi dan sepi di tengah hiruk pikuk kesibukan.

Personifikasi telaga dapat bermacam-macam. Bisa orangtua, pasangan hidup, murabbi, kiai, ustadz, atau orang yang paling dekat di hati kita. Sebagian mereka adalah tamsil bagi telaga yang nyata. Namun, sebagian mereka ada yang menuntut agar telaga terpersonifikasi senyata-nyatanya.

***

Seorang rekan yang berprofesi sebagi aktivis mengenyakkan badannya di emper sebuah kampus. Senja itu hampir saja datang dengan iringan angin sepoi yang sejuk. Udara sejuk masih ada, sesejuk air telaga. Lalu aktivis itu berkata pada dirinya sendiri, “Aku sebel dengan diriku sendiri, tetapi aku begitu capek harus selalu menjadi telaga….”

Oh, para aktivis penyampai idealisme dan kebenaran, apa kata dunia jika kalian ogah menjadi telaga bagi sesama? Padahal, kalian diamanatkan Tuhan cinta-cinta yang tulus, yang memberi tanpa pamrih, yang tidak mengambil, kecuali ala kadarnya, yang tenang dan menenangkan.

Berbagai cerita kartun sampai nilai adat-istiadat mendukung tuntunan bahwa seorang yang berjiwa besar harus memiliki dan mampu memberi telaga di tengah hutan pada siapa pun, sehingga keberadaanya jauh memberi rasa nyaman dan aman. Seorang yang berjiwa besar atau yang sedang berupaya mendapatkan kebesaran jiwa, harus terus berlatih menjadi telaga yang ketenangannya tidak terusik oleh kebisingan dan hiruk pikuk di sekelilingnya, sehingga setiap orang -bahkan dirinya sendiri- akan terus mencari. Dan sejuk dihampirinya.

Seseorang yang telah mendapatkan sentuhan kebenaran, konsekuensinya menyampaikan kebenaran pada yang lain, mewarisi kebeningan hati. Ia harus mampu menyederhanakan puluhan kalimat menjadi satu-dua kata, memeras kata-kata menjadi makna, dan membagikannya seperti membagikan segelas es teh pada siapa saja yang dahaga, tanpa memandang bangsa, suku, perbedaan ideologi, perbedaan afiliasi politik, bahkan perbedaan agama! Ia harus selalu memberi ketenangan dan kesejukan.

Namun telaga manusia tidak berada di balik bajunya. Ketelagaan seseorang ada di balik hatinya. Dan betapa kecilnya telaga itu. Ia bisa saja kering ketika kemarau panjang datang. Atau kelebihan air ketika musim hujan datang, ia akan mengalirkannya ke lautan. Karenanya, biar saja setiap orang, lebih-lebih yang mengaku aktivis penyampai jalan kebenaran itu lelah jadi telaga. Dia jujur dan mengenali kelelahannya, itu yang penting. Dia pun tidak wajib menyodorkan segelas es teh, tetapi juga berhak mendapatkan segelas es teh. Selain itu, menjadi sebuah telaga bukan akhir dari proses untuk “menjadi”.

“Kenapa tidak menjadi samudera saja?” Barangkali itu yang akan kita tanyakan.


Samudera itu luas. Kandungannya banyak. Nelayan-nelayan mencari ikan di dalamnya, orang mengebor minyak bumi di lepas pantainya, membangun kota-kota pelabuhan di tepinya, dan berlayar di atasnya. Para penemu benua baru mengalami proses kematangan mental terpenting dalam hidupnya setelah mengarungi keluasannya. Memang, samudera tidak sejernih dan setenang telaga yang indah karena kecilnya, tetapi sering membuat orang terperangah dan kecut karena keluasannya. Jika badai terjadi di tengah samudera, kapal-kapal kecil tinggal menunggu kehancurannya. Jika badai raksasa datang menggulung, bahkan kota-kota yang ada di sekelilingnya pun bisa hilang dalam sekejap. Namun, telaga bisa kering, dan makhluk di sekitarnya pun bisa mati kehausan kelaparan.

Jika telaga ada di balik hati, samudera kemanusiaan pun tampaknya susah untuk ditunjuk oleh sebuah kalimat. Ini lantaran keluasannya dan kedalamannya. Seorang yang ikhlas menemukan samudera di ujung amal kesehariannya yang diniatkan secara tulus karena Allah semata. Tetapi, seorang perindu Allah dapat juga menemukan samuderanya bersamaan dengan kehadiran seseorang yang ikhlas menerimanya. Samudera itu dapat bersama dengan hadirnya seorang sahabat perempuan atau lelaki, atau bahkan anak-anak seusia yang belajar alif, ba, ta, di TPA. Karena samudera kemanusiaan amat berdimensi Ilahi. Bahkan dalam tingkat kesujudan tertentu, samudera kemanusiaan adalah Allah sendiri yang luas dan dalamnya tak terbatas.

Menyamudera adalah proses tanpa akhir, karena akhirnya adalah samudera itu sendiri. Menyamudera adalah proses yang lebih jujur dan dinamis, dan menantang daripada menjadi telaga. Karena pada saat itu manusia tidak sedang unjuk kekuatan dan segala atribut kepentingan, tetapi sedang sedang berjalan menuju-Nya.

Menjadi telaga atau samudera pada dasarnya adalah pilihan bebas bagi siapa saja; atau justru dipilih kedua-duanya. Telaga dalam diri kita tidak harus kita cari dalam kedalaman spiritual. Tetapi terkadang dalam kesahajaan dan kesederhanaan yang dilandasi dengan kesadaran spiritual. 

Untuk menjadi telaga atau samudera sama-sama harus mengubah diri kita menjadi air terlebih dahulu, menepati ruang, sesuai dengan tempatnya, transparan meskipun air tidak harus mengubah dirinya menjadi benda lain. 

Air telaga dan samudera adalah air yang keberadaannya berasal dari air-air mengalir yang bisa jadi memerlukan proses panjang berliku. Justru dengan proses inilah, kematangan dan kearifan hidup dapat dicapai. Proses panjang untuk menuju proses menjadi inilah yang menurut Jalaluddin Rummi sebagai proses ‘cinta’, karena segala eksistensi yang berjalan menuju-Nya adalah sebuah perjalanan kekal. Hanya dengan cintalah diri kita akan mampu berubah menjadi telaga atau samudera.

Sungguh Cinta mengubah yang pahit menjadi manis. Debu beralih emas. Keruh menjadi bening. Sakit menjadi sembuh. Penjara menjadi telaga. Derita menjadi nikmat. Dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang melunakkan besi. Menghancur-leburkan batu karang. Membangkitkan yang mati. Dan meniupkan kehidupan padanya. Serta membuat budak menjadi pemimpin. (Jalaluddin Rumi)

Dan pada akhirnya, bagi siapa saja yang dalam dirinya tersemai kesadaran melakukan perbaikan, baik bagi dirinya maupun orang lain, dengan apa yang selama ini kita sebut dakwah dalam dimensi sosial keagamaan, senantiasa dituntut untuk memiliki ketenangan dan semangat yang mengerakkan. Ia harus menjadi telaga atau samudera. Atau ia harus menciptakan kedua-duanya dalam kesadaran di balik dadanya. []


*by Adib Nurhadi



Kamis, 18 Juli 2013

HARGA SEBUAH KEAJAIBAN



HARGA SEBUAH KEAJAIBAN
Oleh : Supriyanto, S.Pd 
(Kepala Madin At-Taqwa)

Alkisah, seorang anak perempuan berumur delapan tahun mendengar orang tuanya berbicara tentang adiknya. Dia tahu bahwa adiknya sakit keras dan mereka tak punya uang lagi. Mereka sudah pindah ke rumah yang lebih kecil karena rumah yang sebelumnya dijual untuk untuk membayar biaya-biaya dokter. Sekarang hanya pembedahan yang sangat mahal yang bisa menyelamatkannya dan tak ada lagi yang bersedia meminjami  mereka uang.

Sang bocah mendengar ayahnya berbisik putus asa kepada ibunya yang sedang menangis, “Hanya keajaiban yang dapat menyelamatkannya sekarang.” 

Anak itu lalu pergi ke kamarnya dan menarik sebuah guci dari tempat persembunyiannya di dalam lemari. Dia menumpahkan semua uang receh dari dalam guci itu ke lantai dan menghitungnya dengan cermat. Setelah dihitung, semua uang receh itu dimasukkan lagi ke dalam guci.

Sambil mengepit guci yang berharga  itu erat-erat, dia menyelinap keluar dari pintu belakang dan pergi ke toko obat setempat enam blok jauhnya. Dia mengambil sebagian uang dari gucinya dan meletakkannya di meja kaca.

“Mau beli apa?” Tanya penjual obat. ‘Untuk adikku,”jawab gadis kecil itu.”Dia sakit keras dan aku ingin membeli sebuah keajaiban.”

“Apa?” Tanya sang penjual obat.

“Namanya Andrew dan dia punya sesuatu yang buruk tumbuh di dalam kepalanya dan ayahku bilang hanya keajaiban yang dapat menyelamatkannya. Jadi berapa harga keajaiban itu?”

“Kami tidak menjual keajaiban, Nak. Maaf,” kata sang tukang obat, tersenyum sedih pada gadis kecil itu.

“Begini, Pak, aku punya uang untuk membayarnya. Kalau uang itu tidak cukup, aku akan mencoba mencari tambahan. Katakan saja berapa harganya.”

Di toko itu ada seorang pelanggan yang berpakaian rapi. Dia membungkuk dan bertanya kepada sang gadis kecil, “Keajaiban macam apa yang dibutuhkan adikmu?”

“Aku tidak tahu,” jawabnya dengan mata berkaca-kaca. “Dia sangat sakit dan ibuku bilang dia perlu dioperasi. Tapi ayahku tidak bisa membayarnya, jadi aku membawa tabunganku.”

“Berapa uang yang kamu punya?”, tanya pria itu. “Satu Dolar Sebelas Sen, tapi aku bisa mencari tambahan,” jawabnya hamper tak terdengar.

“Wah, kebetulan sekali,” ucap pria itu sambil tersenyum. “Satu Dolar Sebelas Sen, harga yang tepat untuk sebuah keajaiban.”

Pria itu mengambil uangnya, lalu menggenggam tangan sang gadis kecil seraya berkata, “Bawa saya ke tempat kamu tinggal. Saya ingin melihat adikmu dan bertemu dengan orang tuamu. Mari kita lihat apakah saya punya keajaiban yang kamu butuhkan.”

Pria berpakaian rapi itu adalah Dr. Carlton Amstrong, seorang ahli bedah, spesialis dalam bedah otak. Operasinya dikerjakan tanpa bayaran dan tak lama kemudian, Andrew sudah bisa pulang ke rumahnya lagi dan sehat.

“Bedah itu,” bisik ibunya, “betul-betul sebuah keajaiban. Berapa ya biayanya?”

Gadis itu tersenyum. Dia tahu pasti berapa harga keajaiban itu…. Satu Dolar Sebelas Sen… plus keyakinan seorang anak kecil. Kegigihan bisa mewujudkan keajaiban.

**********$$$$$$$$$$$$$$$$$$**********

Sahabat, kisah diatas benar-benar terjadi. Sebuah kisah nyata dari negeri seberang sana, Amerika. Dikisahkan oleh mantan mahasiswa yang pernah belajar di Stanford University dan pulang ke India untuk mengembangkan perusahaan minyak goreng ayahnya yang telah bangkrut dan menyulapnya menjadi WIPRO, sebuah perusahaan besar yang memproduksi berbagai macam software untuk Microsoft. Dialah Azim Hasham Premzi. Pengusaha muslim sukses dari Mumbai, India, yang kekayaannya pernah bertengger di urutan ke-3 di India dan urutan orang terkaya ke-22 dunia versi Majalah Forbes.

Sahabat, kisah di atas memberikan beberapa pelajaran berharga kepada kita. Pertama, bahwa Allah SWT tidak akan menguji hamba-Nya melebihi kemampuannya untuk menjalaninya. Maka dari itu hendaklah kita senantiasa bersabar dan tidak putus asa. Kita yakin bahwa Allah SWT pasti akan menolong kita.

Allah SWT berfirman,
Ÿ 
“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.."(Qs.Al-Baqarah 2: 286)

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (Qs.Yusuf 12:87)

Kedua, bahwa Allah SWT berkehendak menguji kita, salah satunya adalah karena ingin melihat kesungguhan kita dalam beramal, berusaha dan memecahkan masalah-masalah yang kita hadapi. Oleh karena itu, apapun yang terjadi, selama kita berada di jalan Allah, kita harus senantiasa antusias dan bersungguh-sungguh dalam semua urusan kita. Karena seiring dengan kesungguhan kita itulah Allah SWT akan menunjukkan jalan keluar bagi kita.
 
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(Qs Al-Ankabut 29:69)

Ketiga, kasih sayang dan kepedulian kita kepada sesama, apalagi untuk saudara dan keluarga kita sendiri pasti akan membuat Allah SWT mencurahkan kasih sayang-Nya juga kepada kita dan kepada siapa yang kita sayangi. Karena itu janganlah menahan kasih sayang dan kepedulian kita kepada saudara-saudara kita agar kasih sayang Allah senantiasa tercurah untuk kita semua.

Rasulullah SAW Bersabda, ““Barangsiapa ingin agar do’anya terkabulkan dan kesulitannya teratasi hendaklah dia menolong orang yang dalam kesempitan.” (HR.Ahmad)