Selasa, 08 November 2011

Renungan 3 : ANAK SINGA



ANAK SINGA
Oleh : Supriyanto, S.Pd*


Alkisah, di sebuah hutan berlantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerak-gerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu.
Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, si bayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti kemana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing.
Hari berganti hari, dan anak singa itu tumbuh besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya. Tingkah lakunya juga persis layaknya anak kambing. Bahkan anak singa yang mulai beranjak besar itupun mengeluarkan suara layaknya kambing. Ia mengembik, bukan mengaum.
Ia merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing lainnya. Ia sama sekali tidak merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.
Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambingpun berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa untuk menghadapi serigala itu.
“Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti akan lari ketakutan!”, kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar.
Tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama seperti kambing yang lain bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala.
Induk kambing sedih karena salah satu anaknya dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah.
“Seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya kamu bisa mengusir serigala yang jahat itu!”
Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tak faham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing yang lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing- kambing untuk disantapnya. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekad ia berlari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya.
Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!
Dengan kemarahan luar biasa anak singa itu berteriak keras,
“Embeeeekkk....!!!”
Lalu ia mundur kebelakang. Mengambil ancang-ancang untuk menyeruduk lagi.
Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing.
Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu!
Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya.
Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan?
Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun.
Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman dahsyat!
Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut karena di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa.
Beberapa ekor kambing lari, yang lain ikut lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan berkata,
“Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku tak akan memangsa anak singa!”
Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing., tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan,
“Jangan bunuh aku, ammmpuuuunnn!!!”
“Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!”
Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata,”Tidak! Aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!”
Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing.
Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana miungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri. Lalu membandingkan dengan singa dewasa.
Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, “Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si Raja Hutan!”
“Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa.
“Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”
“Ya, kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa.
Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya, mengaum, menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar auman anak singa itu.
Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan,
“Aku adalah seekor singa! Raja Hutan yang gagah perkasa!”
Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.
@@@
Sahabat, ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini.
Pertama, kita tahu pasti bahwa anak-anak kita belajar dari lingkungannya. Anak-anak kita adalah para peniru yang baik dan cerdas. Mereka cepat belajar dengan meng-copi paste semua yang ia lihat dari lingkungannya. Dan lingkungan terdekat anak-anak kita adalah kita sendiri, orang tuanya.
Bila kita mencetaknya dengan teladan yang baik, maka jadi baiklah mereka. Tapi bila kita memberikan contoh kebiasaan yang buruk pada mereka, maka jadi buruklah mereka. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW,

“Setiap anak itu dilahirkan dalam kondisi fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi atau nasrani atau majusi.”

Sebagaimana juga telah dirinci oleh Doroty Low Nolte :

Dari lingkungannya... Anak-anak belajar

Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan.
Jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas.
Jika anak banyak dimusuhi, ia akan terbiasa menantang.
Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasibnya.
Jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan menjadi pemalu.
Jika anak dikitari rasa iri, ia akan terbiasa merasa bersalah.
Jika anak serba dimengerti, ia akan terbiasa menjadi penyabar.
Jika anak banyak diberi dorongan, ia akan terbiasa percaya diri.
Jika anak biasa dipuji, ia akan terbiasa menghargai.
Jika anak diterima oleh lingkungan, ia akan terbiasa menyayangi.
Jika anak diperlakukan dengan jujur, ia akan terbiasa melihat kebenaran.
Jika anak tidak banyak dipersalahkan, ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri.
Jika anak mendapat pengakuan dari kiri kanan, ia akan terbiasa menetapkan arah langkahnya.
Jika anak ditimang tanpa berat sebelah, ia akan terbiasa melihat keadilan.
Jika anak mengenyam rasa aman, ia akan terbiasa mengendalikan diri dan mempercayai orang sekitarnya.
Jika anak dikermuni keramahan, ia akan terbiasa berpendirian, “Betapa Indah dunia Ini!”

Bagaimana dengan anak Anda...???

Dorothy Low Nolte
(Children Learn What They Live With)

Kedua, Sebenarnya, banyak sekali potensi yang belum tergali pada diri kita dan juga orang di sekitar kita, termasuk anak-anak dan murid kita (jika kita seorang guru, dan memang setiap kita seharusnya menjadi guru. Minimal buat keluarga kita sendiri). Potensi yang sebenarnya luar biasa besar dan dahsyat. Sayangnya belum tergali dan termanfaatkan dengan baik.
Sahabat, mari bersama kita gali potensi kita. Yakinlah bahwa kita adalah seekor singa yang perkasa, bukan sekedar seekor domba yang lemah. Kita dilahirkan untuk menjadi juara bukan pecundang.
Sahabat, Kita mampu menggenggam dunia. Kita mampu membuat seluruh dunia tunduk di bawah pangkuan Islam. Bukankah Allah SWT, Tuhan kita, Tuhan seluruh alam semesta telah mengabarkan hal itu dengan jelasnya?
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”(Qs. 3 : 139)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”(Qs 3 : 110).
___________________________________________
* Penulis Adalah Direktur Lembaga Pendidikan Islam At-Taqwa


1 komentar: