Selasa, 08 November 2011

FIQIH THOHAROH 2

5. AIR HANYA 5 LITER : WUDHU ATAU TAYAMUM?

Pertanyaan:
Pak Ustad yang dirahmati Allah SWT, saya ingin bertanya mengenai masalah air untuk berwudhu.
Pada suatu hari listrik di tempat saya bekerja mati dan ini bertepatan dengan waktu maghrib. Sedangkan air yang ada di kamar mandi (di dalam ember) hanya sedikit (tidak lebih dari 5 liter) dan air itu boleh dikatakan sisa setelah digunakan untuk yang lain. Apakah boleh saya menggunakan air tersebut untuk berwudhu dalam keadaan darurat seperti ini dan bagaimana sholat saya sahkah? atau saya harus bertayamum? Dan berapakah banyak air yang seharusnya digunakan untuk berwudhu atau apakah memang harus menggunakan air yang mengalir? lalu apakah air yang terkena sabun bisa digunakan untuk berwudhu? Sekian pertanyaan dari saya atas jawaban ustad saya ucapkan terima kasih.
Wassalaamualaikum wr. wb.
Akhwat

Jawaban:
Air yang jumlahnya hanya 5 liter itu tetap bisa digunakan untuk wudhu. Jangankan yang 5 liter, yang hanya satu gelas pun bisa digunakan.

Kalau pun ada mazhab yang mengatakan bahwa jumlah air itu harus dua qullah, maka tidak berarti kita tidak boleh menggunakan air 5 liter untuk wudhu. Sebab pengertian dua qullah itu adalah jumlah air yang bila kemasukan najis atau air yang musta
mal, tidak membuatnya berubah hukum.

Maka sesuai mazhab yang mengharuskan air dua qullah, selama cara penggunaan air di kolam itu tidak membuat ada najis atau air musta
mal jatuh ke dalamnya, tetap boleh untuk digunakan untuk berwudhu.

Misalnya, Anda bisa mengambil air satu gayung, lalu tuangkan ke telapan tangan Anda dan basuhlah muka. Setelah tuangkan lagi dan basuhlah kedua tangan. Setelah itu tuangkan lagi dan ucaplah kepada dan dua telinga. Setelah itu tuangkan lagi dan cucilah kaki Anda dari air di gayung itu. Dan selesailah wudhu Anda.

Sesuai dengan mazhab ini, maka Anda tidak boleh mencelupkan tangan yang basah oleh air bekas wudhu ke dalam kolam yang airnya tidak sampai dua qullah. Sebab menurut mazhab ini, bila jumlah air tidak mencapai dua qullah dan kemasukan air musta
mal, yaitu air bekas wudhu, maka hukum air di kolam itu ikut jadi mustamal juga.. Dan air mustamal menurut mazhab ini, tidak bisa digunakan untuk berwudhu.

Tapi ini hanyalah pandangan satu mazhab saja, sedangkan mazhab lainnya tidak mengenal istilah air musta
mal seperti itu. Juga tidak mengenal isitilah minimal haurs dua qullah.

Sehingga dalam pandangan semua mazhab, Anda tetap bisa berwudhu dan tidak perlu tayammum. 




6. UKURAN BANYAKNYA AIR U/WUDHU & MANDI JUNUB

Pertanyaan:
Mohon penjelasan tentang banyaknya/ukuran air untuk kita pergunakan buat mandi junub & untuk berwudhu Demikian, saya ucapkan terima kasih
Z.ZUHRI

Jawaban:
Dalam madzhab Syafi
i memang disebutkan ukurannya yaitu 2 kullah sekitar 80 cm3. Para ulama menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak kuat. Sehingga menurut pendapat kami selagi air itu suci dan mensucikan, maka dapat digunakan untuk bersuci seperi mandi dan berwudhu. Wallahu A‘lam Bishawaab .



7. AIR PANAS UNTUK WUDU'

Pertanyaan:
Saya ingin menanyakan hukum berwudu' menggunakan air hangat yang bukan dimasak, misalnya hangat karena sinar matahari,atau sebab perpindahan panas karena tampat airnya besentuhan dengan benda panas.
demikian pertanyaan saya,atas jawabannya saya ucapkan terima kasih. wassalam. Cundabaya

Jawaban:
Ketika membahas tentang menggunakan air panas dalam berwudhu, sebenarnya para ulama lebih terfakus kepada pembahasan air musyammasy, atau air yang terkena sinar matahari dan menjadi panas. Istilah musyammasy memang berasal dari kata Syams yang bermakna matahari.

Penggunaan air musyammasy sebenarnya tidak pernah diharamkan oleh siapa pun. Kalau pun ada pendapat tentang masalah ini, hanya sebatas memakruhkan saja. Itupun bukan dengan menggunaka dalil nash, namun mengunggakan pendekatan kesehatan. Bahkan itupun bila airnya sangat panas, bukan sekedar hangat atau hangat-hangat kuku. Karena menurut anggapan masa itu, menggunakan air yang terpanaskan oleh matahari hingga menjadi sangat panas akan menyebabkan penyakit barash (lepra).

Adalah kalangan Asy-Syafi'iyah yang memakruhkan untuk berwudhu menggunakan air yang panas akibat terkena sinar matahari. Namun kemakruhan yang disebutkannya bukanlah makruh tahrim namun makruh tanzih saja, artinya makruh yang tidak sampai kepada keharaman.

Bukan hanya air yang sangat panas, namun termasuk juga air yang sangat dingin menusuk tulang termasuk yang mereka makruhkan. Tentu saja pendekatannya juga kepada kesehatan dan kenyamanan orang yang berwudhu.

Jadi silahkan saja Anda berwudhu menggunakan air panas baik dari kompor atau pemanas listrik atau pemanas matahari. Karena tidak pernah ada yang mengharamkannya. Lagi pula itu hanya pendapat yang tidak didasarkan kepada nash yang

qathi. 



8. AIR TERCAMPUR PERCIKAN SABUN/SAMPO
Pertanyaan:
Kadang kadang bak mandi setelah dipakai untuk mandi ada tercampur sampo/sabun dari percikan waktu membilas sabun,apakah air tersebut masih suci dan mensucikan?apa syarat air yang sah untuk wudlu /mandi wajib? Didi

Jawaban:
Yang Anda tanyakan itu terkait dengan hukum air musta`mal, yaitu air yang sudah dipakai, maksudnya yang telah digunakan untuk bersuci baik dalam berwudhu`, mandi atau mencuci najis dalam kebanyakan pendapat ulama.

Shampo dan sabun tidak menjadikan hukum air berubah hukumnya, juga tidak menjadikan air itu najis. Sebab percikan sabun dan shampo bukanlah digunakan untuk berwudhu atau mandi janabah, sehingga tidak menjadikan air yang terciprat olehnya menjadi musta`mal.

Istilah musta`mal yang maknanya sudah digunakan berkaitan dengan digunakan untuk wudhu`atau mandi saja, bukan digunakan untuk hal lainnya.

Lebih detail tentang air musta`mal, kami cantumkan bagaimana fuqoha mazhab mendefinisikannya :

a. Ulama Al-Hanafiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah (wudhu` sunnah dan mandi sunnah).

Yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal.

Bagi mereka, air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.

(lihat kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61).

b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).

Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.

(Lihat As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya).

c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas / menetes dari tubuh.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karean statusnya suci tapi tidak mensucikan. (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5 hal. 1,8)

d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.

Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang diluar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.

Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` / mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal. Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.

2 Qullah
Sedangkan istilah qullah adalah ukuran volume air. Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qulah itu adalah 500 rithl Baghdad. Atau sama dengan 446 3/7 Rithl Mesir atau sama dengan 81 rithl Syam. Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan dalam kitab fiqih sebagaimana dikutip oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.

Dalam mazhab Asy-Syafi`iyyah, bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter dan kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta`mal. Air itu suci tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta`mal. 



2 komentar:

  1. assalamu alaikum pak uztaz terimakasih tas penjelasan nya dan ana mu nanyak masalah nisab zakat perdagangan tolong jelaskan terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikum salam Wr.Wb.

      Khusus masalah zakat perdagangan, maka nisabnya adalah senilai 85 gram emas. Yang dihitung bukanlah modal / investasi total, tetapi jumlah uang yang bergulir. Misalnya, bila bentuk usaha anda adalah membuka toko, maka yang harus dihitung sebagai dana bergulir hanyalah harga barang-barang yang sedang anda jual. Sedangkan biaya pembuatan kios, lemari, rak, meja, cash register dan semua perlengkapan untuk dagang, tidak termasuk yang dihitung sebagai dana yang bergulir. Bila barang-barang yang anda jual itu nilainya melebihi harga 85 gram emas, maka usaha anda terkena kewajiban membayar zakat. Bila kita anggap harga emas itu Rp. 80.000 per gram, maka 85 gram adalah Rp. 6.800.000.

      Misalnya, nilai uang yang sedang bergulir diluar aset itu sebesar Rp. 10 juta dan 12 bulan kemudian bertambah menjadi 20 juta, anda wajib membayar zakat 2,5 % dari Rp. 20 juta itu yaitu Rp. 500.000,-.

      Wallahu A'alam.
      Wassalamu'alaikum Wr.Wb

      Hapus