Selasa, 08 November 2011

FIQIH THOHAROH 3

9. BERSUCI DENGAN AIR YANG SUDAH DIREBUS

Pertanyaan:
Di daerah dingin seperti Malang, pada pagi hari cuaca sangat dingin sehingga menimbulkan keengganan untuk sholat subuh. Apalagi bila saat sedang junub, harus mandi pakai air panas (yang sudah direbus). Bagimana hukumnya bersuci dengan air yang sudah direbus? Muhammad Abdul Azis


Jawaban:
Ketika membahas tentang menggunakan air panas dalam berwudhu, sebenarnya para ulama lebih terfakus kepada pembahasan air musyammasy, atau air yang terkena sinar matahari dan menjadi panas. Istilah musyammasy memang berasal dari kata syams yang bermakna matahari.

Penggunaan air musyammasy sebenarnya tidak pernah diharamkan oleh siapa pun. Kalau pun ada pendapat tentang masalah ini, hanya sebatas memakruhkan saja. Itupun bukan dengan menggunaka dalil nash, namun mengunggakan pendekatan kesehatan. Bahkan itupun bila airnya sangat panas, bukan sekedar hangat atau hangat-hangat kuku. Karena menurut anggapan masa itu, menggunakan air yang terpanaskan oleh matahari hingga menjadi sangat panas akan menyebabkan penyakit barash (lepra).

Adalah kalangan Asy-Syafi'iyah yang memakruhkan untuk berwudhu menggunakan air yang panas akibat terkena sinar matahari. Namun kemakruhan yang disebutkannya bukanlah makruh tahrim namun makruh tanzih saja, artinya makruh yang tidak sampai kepada keharaman.

Bukan hanya air yang sangat panas, namun termasuk juga air yang sangat dingin menusuk tulang termasuk yang mereka makruhkan. Tentu saja pendekatannya juga kepada kesehatan dan kenyamanan orang yang berwudhu.

Jadi silahkan saja Anda berwudhu menggunakan air panas baik dari kompor atau pemanas listrik atau pemanas matahari. Karena tidak pernah ada yang mengharamkannya. Lagi pula itu hanya pendapat yang tidak didasarkan kepada nash yang qath
i. 



10. MENGGUNAKAN AIR PDAM UNTUK BERWUDLU

Pertanyaan:
Saya adalah salah satu pengurus mesjid di lingkungan Perusahaan tempat saya bekerja, beberapa waktu yang lalu ada salah satu jamaah di mesjid tersebut yang minta kepada kami pengurusnya untuk mengusahakan air sumur utk keperluan wudlu.

Menurut beliau air PDAM tidak sayh untuk digunakan berwudlu dg alasan bahwa air PDAM sudah terjadi perubahan sifat (dari air keruh menjadi jernih).

Yang ingin saya tanyakan apakah pendapat orang tersebut benar? Karena tidak masuk di akal saya kalau sampai air PDAM tidak syah utk shalat. Bagaimana dg shalatnya orang di Istiqlal yang katanya menggunakan air PDAM utk berwudlu? Mohon penjelasannya disertai dg dalil-dalilnya. Penjelasan dari Bapak ustadz akan saya tunjukkan ke orang tersebut.Terima kasih atas perhatiannya. Abdul Hafiz


Jawaban:
Pemahaman seperti tidak punya dasar yang kuat. Karena sesungguhnya air yang ada di dalam tanah asalnya juga dari air yang kotor, misalnya air payau, air danau, air kali dan seterusnya. Di kota-kota besar semacam Jakarta, semua air itu kotor, bau dan coklat kehitaman. Tapi tanah mampu menyerap air-air itu dan menyaringnya sehingga menjadi air jernih dari mata air tanah.

Perusahaan air mium melakukan proses itu dengan menggunakan teknologi. Dan hasilnya adalah air jernih yang bisa dikonsumsi untuk mandi, cuci dan juga untuk minum. Secara umum kualitas air itu dinyatakan sebagai air bersih yang sehat. Kecuali bila ada kasus tertentu seperti yang sering kita baca di surat pembaca harian ibu kota dimana para konsumen sering mengeluhkan kualitas air perusahaan ini. Mereka mengeluh bahwa airnya keruh, bau dan kotor.

Tentu saja ini sifatnya kasuistik dan tidak bisa digeneralisir begitu saja. Buktinya, masih ada ribuan pelanggan lainnya yang tetap merasakan jasa perusahaan air ini. Dan bila secara pisik kita melihat bahwa air itu bersih dan jernih, maka itu adalah air yang suci dan mensucikan. Lepas dari urusan dari mana asal air itu dan seperti apa bentuknya sebelum diproses.

Sabda Rasulullah SAW,
Air itu tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu, kecuali bila air itu berubah warna, bau dan rasanya. Yang dimaksud dengan berubah warna, bau dan rasa adalah bila ada warna najis, atau bau najis seperti bau bangkai, darah dan bau benda najis lainnya. Juga bila dicicipi, ada rasa najisnya.

Sedangkan warna yang tidak jernih tapi bukan najis, tidak merusak kesuciannya. Begitu juga bau atau rasa yang berbeda tapi bukan indikator adanya barang najis, maka air itu tetap suci. Misalnya bau kaporit, bau cat dan bau lainnya, asalkan bukan indikasi benda najis, maka air itu suci mensucikan.

Begitu juga rasa. Bila anda berwudhu lalu saat berkumur anda merasa asin, air itu tetap suci, karena rasa asin bukan rasa najis, tetapi karena resapan air laut ke dalam air tanah. Ini banyak terjadi di utara Jakarta. 




11. BENARKAH MANDI JANABAH HARUS DENGAN AIR YANG MENGALIR

Pertanyaan:
Saya pernah dengar bahwa mandi janabah harus dengan air yang suci yaitu air yang mengalir atau di air yang tersimpan dalam ukuran bak mandi yang lebih dari 1 meter persegi dan bila tdk memenuhi ketentuan ini maka mandi kita tidak syah, benarkah itu ? Terima kasih dan mohon penjelasannya. Agus


Jawaban:
Dalam literatur fiqih kita mengenal istilah air mustamal. Air musta`mal adalah air yang sudah digunakan untuk bersuci baik wudhu` ataupun mandi janabah. Bila jumlah air ini sedikit yaitu tidak mencapai dua qullah atau sekitar 270 liter (lihat Wahbah Zuhaili : Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu), maka air ini tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci (wudhu` / mandi) untuk kedua kalinya. Ini menurut mazhab Asy-Syafi`iyah. Status hukum air itu menjadi suci tapi tidak mensucikan.

Tapi bila air itu jumlahnya banyak melebihi dua qullah, maka tidak ada masalah untuk menggunakannya lagi untuk berwudhu` atau mandi.

Yang dimaksud dengan tidak mensucikan maknanya adalah tidak syah bila dipakai untuk wudhu` atau mandi janabah, tapi kalau untuk kepentingan lain seperti cuci piring, mandi biasa, cuci tangan atau cuci-cuci yang lain, tidak ada masalah.

Pengertian Musta`mal di antara fuqoha mazhab :

a. Ulama Al-Hanafiyah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah (wudhu` dan mandi sunnah).

Yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal. Bagi mereka air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.

(lihat kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61).

b. Ulama Al-Malikiyah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).

Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.

(lihat As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya).

c. Ulama Asy-Syafi`iyyah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta`mal.

Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas / menetes dari tubuh.

Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karean statusnya suci tapi tidak mensucikan.

(Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5 hal. 1,8)

d. Ulama Al-Hanabilah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya. Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal.

Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang diluar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal. Speerti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.

Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan peklerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` / mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal.

Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi
tertular kemusta`malannya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar