Jadilah Telaga atau Samudera, Wahai Aktivis!
Konon jauh
dipedalaman belantara, ada sebuah telaga. Kerimbunan pohon memayungi tepinya,
kerapatan perdu menyembuyikan kecantikannya. Beberapa ekor rusa anggun bertekuk
lutut melipat kakinya, burung-burung membuat sarang di kanan-kirinya. Beberapa
pucuk daun jatuh menyapa permukaannya, dan telaga itu beriak-riak membentuk
lingkaran terus membesar sampai tepi-tepi yang kemudian hilang. Terdengar
keributan hewan-hewan di sekitarnya, tetapi sayup-sayup. Suara yang paling
nyata adalah desiran angin di atasnya, atau bunyi katak terjun menyelami
kedalamannya. Atau sama sekali lenggang, ketika angin beristirahat bersama
lelapnya alam sekelilingnya.
Telaga itu
begitu tenang. Cuma ada riak-riaknya. Permukaanya yang bening mampu membuat
langit dan isi alam sekelilingnya dapat berkaca.
Telaga itu
di mana? Di buku-buku cerita peri yang sedang mengaso bersama kupu-kupu
bersayap indah dan bersama kelinci-kelinci lucu? Atau berada pada legenda di
ujung pelangi saat para bidadari turun mandi? Atau dalam cerita pewayangan
tempat para ksatria memulai tapa brata?
Telaga itu,
di mana pun, ada sungguhan atau tidak ada, sering begitu nyata dalam bangunan
imajinasi manusia. Karena ketersembunyiannya, kesahajaanya, ketenangannya,
tentu saja telaga paling banyak dicari bagi pengembara yang letih kehausan, yang
terletak jauh di balik belantara, jauh di balik bumi, jauh di balik kedalaman
jiwa.
Telaga
siapakah? Jika Anda sedang lelah, telaga menjadi tempat terbaik untuk
beristirahat dengan semilir anginnya. Jika Anda sedang haus, telaga sangat baik
untuk direguk karena kesejukan dan higienis airnya begitu alami. Jika Anda
merasa hampa, telaga adalah cermin tempat ditemukanya kembali makna-makna.
Telaga sendiri adalah sunyi yang cukup bagi dirinya sendiri, ketika Anda tengah
kehilangan orientasi dan sepi di tengah hiruk pikuk kesibukan.
Personifikasi
telaga dapat bermacam-macam. Bisa orangtua, pasangan hidup, murabbi, kiai,
ustadz, atau orang yang paling dekat di hati kita. Sebagian mereka adalah
tamsil bagi telaga yang nyata. Namun, sebagian mereka ada yang menuntut agar
telaga terpersonifikasi senyata-nyatanya.
***
Seorang
rekan yang berprofesi sebagi aktivis mengenyakkan badannya di emper sebuah
kampus. Senja itu hampir saja datang dengan iringan angin sepoi yang sejuk.
Udara sejuk masih ada, sesejuk air telaga. Lalu aktivis itu berkata pada
dirinya sendiri, “Aku sebel dengan diriku sendiri, tetapi aku begitu capek
harus selalu menjadi telaga….”
Oh, para
aktivis penyampai idealisme dan kebenaran, apa kata dunia jika kalian ogah
menjadi telaga bagi sesama? Padahal, kalian diamanatkan Tuhan cinta-cinta yang
tulus, yang memberi tanpa pamrih, yang tidak mengambil, kecuali ala kadarnya,
yang tenang dan menenangkan.
Berbagai
cerita kartun sampai nilai adat-istiadat mendukung tuntunan bahwa seorang yang
berjiwa besar harus memiliki dan mampu memberi telaga di tengah hutan pada
siapa pun, sehingga keberadaanya jauh memberi rasa nyaman dan aman. Seorang
yang berjiwa besar atau yang sedang berupaya mendapatkan kebesaran jiwa, harus
terus berlatih menjadi telaga yang ketenangannya tidak terusik oleh kebisingan
dan hiruk pikuk di sekelilingnya, sehingga setiap orang -bahkan dirinya
sendiri- akan terus mencari. Dan sejuk dihampirinya.
Seseorang
yang telah mendapatkan sentuhan kebenaran, konsekuensinya menyampaikan
kebenaran pada yang lain, mewarisi kebeningan hati. Ia harus mampu
menyederhanakan puluhan kalimat menjadi satu-dua kata, memeras kata-kata
menjadi makna, dan membagikannya seperti membagikan segelas es teh pada siapa
saja yang dahaga, tanpa memandang bangsa, suku, perbedaan ideologi, perbedaan
afiliasi politik, bahkan perbedaan agama! Ia harus selalu memberi ketenangan
dan kesejukan.
Namun telaga
manusia tidak berada di balik bajunya. Ketelagaan seseorang ada di balik
hatinya. Dan betapa kecilnya telaga itu. Ia bisa saja kering ketika kemarau
panjang datang. Atau kelebihan air ketika musim hujan datang, ia akan
mengalirkannya ke lautan. Karenanya, biar saja setiap orang, lebih-lebih yang
mengaku aktivis penyampai jalan kebenaran itu lelah jadi telaga. Dia jujur dan
mengenali kelelahannya, itu yang penting. Dia pun tidak wajib menyodorkan
segelas es teh, tetapi juga berhak mendapatkan segelas es teh. Selain itu,
menjadi sebuah telaga bukan akhir dari proses untuk “menjadi”.
“Kenapa tidak menjadi samudera saja?” Barangkali itu yang akan kita tanyakan.
Samudera itu
luas. Kandungannya banyak. Nelayan-nelayan mencari ikan di dalamnya, orang
mengebor minyak bumi di lepas pantainya, membangun kota-kota pelabuhan di
tepinya, dan berlayar di atasnya. Para penemu benua baru mengalami proses
kematangan mental terpenting dalam hidupnya setelah mengarungi keluasannya.
Memang, samudera tidak sejernih dan setenang telaga yang indah karena kecilnya,
tetapi sering membuat orang terperangah dan kecut karena keluasannya. Jika
badai terjadi di tengah samudera, kapal-kapal kecil tinggal menunggu
kehancurannya. Jika badai raksasa datang menggulung, bahkan kota-kota yang ada
di sekelilingnya pun bisa hilang dalam sekejap. Namun, telaga bisa kering, dan
makhluk di sekitarnya pun bisa mati kehausan kelaparan.
Jika telaga
ada di balik hati, samudera kemanusiaan pun tampaknya susah untuk ditunjuk oleh
sebuah kalimat. Ini lantaran keluasannya dan kedalamannya. Seorang yang ikhlas
menemukan samudera di ujung amal kesehariannya yang diniatkan secara tulus
karena Allah semata. Tetapi, seorang perindu Allah dapat juga menemukan
samuderanya bersamaan dengan kehadiran seseorang yang ikhlas menerimanya.
Samudera itu dapat bersama dengan hadirnya seorang sahabat perempuan atau
lelaki, atau bahkan anak-anak seusia yang belajar alif, ba, ta, di TPA.
Karena samudera kemanusiaan amat berdimensi Ilahi. Bahkan dalam tingkat
kesujudan tertentu, samudera kemanusiaan adalah Allah sendiri yang luas dan
dalamnya tak terbatas.
Menyamudera
adalah proses tanpa akhir, karena akhirnya adalah samudera itu sendiri.
Menyamudera adalah proses yang lebih jujur dan dinamis, dan menantang daripada
menjadi telaga. Karena pada saat itu manusia tidak sedang unjuk kekuatan dan
segala atribut kepentingan, tetapi sedang sedang berjalan menuju-Nya.
Menjadi
telaga atau samudera pada dasarnya adalah pilihan bebas bagi siapa saja; atau
justru dipilih kedua-duanya. Telaga dalam diri kita tidak harus kita cari dalam
kedalaman spiritual. Tetapi terkadang dalam kesahajaan dan kesederhanaan yang
dilandasi dengan kesadaran spiritual.
Untuk
menjadi telaga atau samudera sama-sama harus mengubah diri kita menjadi air
terlebih dahulu, menepati ruang, sesuai dengan tempatnya, transparan meskipun
air tidak harus mengubah dirinya menjadi benda lain.
Air telaga
dan samudera adalah air yang keberadaannya berasal dari air-air mengalir yang
bisa jadi memerlukan proses panjang berliku. Justru dengan proses inilah,
kematangan dan kearifan hidup dapat dicapai. Proses panjang untuk menuju proses
menjadi inilah yang menurut Jalaluddin Rummi sebagai proses ‘cinta’, karena
segala eksistensi yang berjalan menuju-Nya adalah sebuah perjalanan kekal.
Hanya dengan cintalah diri kita akan mampu berubah menjadi telaga atau
samudera.
Sungguh Cinta mengubah yang pahit
menjadi manis. Debu beralih emas. Keruh menjadi bening. Sakit menjadi sembuh.
Penjara menjadi telaga. Derita menjadi nikmat. Dan kemarahan menjadi rahmat.
Cintalah yang melunakkan besi. Menghancur-leburkan batu karang. Membangkitkan
yang mati. Dan meniupkan kehidupan padanya. Serta membuat budak menjadi
pemimpin. (Jalaluddin
Rumi)
Dan pada
akhirnya, bagi siapa saja yang dalam dirinya tersemai kesadaran melakukan
perbaikan, baik bagi dirinya maupun orang lain, dengan apa yang selama ini kita
sebut dakwah dalam dimensi sosial keagamaan, senantiasa dituntut untuk memiliki
ketenangan dan semangat yang mengerakkan. Ia harus menjadi telaga atau
samudera. Atau ia harus menciptakan kedua-duanya dalam kesadaran di balik
dadanya. []
*by Adib Nurhadi