Rabu, 22 Mei 2013

Ketika Saudara Kita Menjadi Tertuduh



Ketika Saudara Kita Menjadi Tertuduh

Oleh :  H. Abdullah Haidir, Lc

AH
Membela kehormatan orang yang belum tentu bersalah tentu lebih baik ketimbang mencelanya. Apalagi jika selama ini dikenal sbg orng baik…

Ketika Saudara Kita Menjadi Tertuduh…..

Mencela dan memojokkan, baik dengan bahasa lugas atau sindiran, terhadap saudara yang sedang dilanda tuduhan yg belum terbukti adalh indikasi sakitnya hati

Mana yang lebih dekat dengan adab Islam, membela penuduh yang belum dikenal kepribadiannya atau membela tertuduh yang belum terbukti kesalahannya tapi sudah dikenal kebaikannya?

Pesan Nabi Jelas: "Penuduh harus mengajukan bukti, tertuduh cukup bersumpah jika menginkari…" (HR. Baihaqi)

"Sebab kalau semua tuduhan langsung diterima, orang akan ramai melakukan tuduhan terhadap harta dan darah suatu kaum…" (HR. Baihaqi)

Para ulama mengatakan: Keliru menghukumi bahwa sesorang tak bersalah, lebih baik dibanding keliru menghukumi bahwa seseorang bersalah…

Aneh saja..jika mengaku aktifis Islam dan sering mengusung tema persatuan, namn ketika sesama aktifis diserbu berbagai tuduhan yang belum terbukti..

Alih-alih membela, atau berempati dan mendoakan kebaikan.. Yang ada justru ikut-ikutan memojokkan dengan statmen yang kadang lebih menyakitkan dari masyarakt awam…

Baik dari adab Islam, atau tinjauan moral, sama sekali tidak mengindikasikan ukhuwah yang selama ini menjadi salah satu yang diusungnya..

Ukhuwah bukan sekedar jadi judul buku atau seminar…
Benarlah ungkapan hikmah yg sering kita dengar… "teman yang sejati dapat diketahui saat kita sedang susah…"

Namun kita tidak perlu mengemis-ngemis pertolongan dengan orang semacam itu. Sebab, kebenaran itu, dengan sendirinya akan mendatangkan pendukung….


Bergembira apabila mendengar ‘kesalahan’ saudara sebagai sebuah amunisi… lebih berbahaya dibanding kesalahan saudaranya itu senidiri..

Sebab yang pertama akan semakin larut dalam maksiat kebenciannya, dan yang kedua akan semakin sadar dengan kesalahannya dan lebih besar harapan taubatnya..


Riyadh, Rajab 1434h

Senin, 13 Mei 2013

Renungan : Meja Kayu Untuk Ayah



MEJA KAYU UNTUK AYAH
Oleh : Supriyanto, S.Pd

Di sebuah keluarga, hiduplah suami istri dengan satu anaknya yang masih kecil serta seorang kakeknya yang sudah renta. Setiap hari ketika waktu makan tiba, mereka selalu berkumpul di sekeliling meja makan untuk menyantap hidangan saat itu bersama-sama.

Akan tetapi disetiap waktu makan itu, si kakek selalu membuat masalah. Karena usianya yang sudah renta, maka tangannya selalu gemetar ketika memegang sendok. Dia selalu kesulitan untuk mengambil makanannya di piring dan memasukkannya kemulut. Akibatnya, makanan si kakek selalu saja tumpah dan berceceran dilantai dan meja makan.

Tidak itu saja. karena pandangannya yang sudah rabun, dia kesulitan memegang gelas air minumnya dengan benar. Akibatnya, air minumnya selalu tumpah di meja makan dan tidak jarang gelasnya pun jatuh ke lantai dan pecah.  Acara makanpun jadi berantakan dan kacau.

Karena setiap hari direpotkan oleh ulah sang kakek, maka sang menantu lalu berkata kepada suaminya (putra si kakek tersebut), “ Yah, si kakek setiap hari selalu menumpahkan makanan dan memecahkan gelasnya. Kita harus segera melakukan sesuatu karena aku sudah sangat capek dibuatnya.”

Sang ayah kemudian merespon permintaan istrinya dengan membuatkan sepasang meja kursi dari kayu dan diletakkan di sudut ruangan yang agak jauh dari meja makan keluarga mereka untuk si kakek makan. Piring dan gelasnyapun disiapkan yang berbahan plastik agar tidak pecah lagi. Acara makan keluarga kecil itu pun kembali lancar dan damai.

Namun tanpa disadari oleh kedua orang tuanya, sang anak yang masih kecil itu setiap hari mengamati kakeknya yang makan di sudut ruangan sambil selalu sesenggukan dan meneteskan air mata. Sang anan begitu tertegun melihat bagaimana kedua orang tuanya memperlakukan kakeknya, bapak dari ayahnya.

Sampai suatu hari, sang ayah terheran-heran melihat ulah sang anak yang memegang peralatan tukang kayu dan mulai memotong dan menggergaji kayu itu. Dengan heran sang ayah bertanya, “Kamu sedang membuat apa, Sayang?”. Sang anak menjawab pelan, “Aku mau membuat meja dan kursi kayu yang akan aku letakkan di sudut ruang makan sana dekat tempatnya kakek biasa makan. Nanti kalau aku sudah besar dan ayah ibu sudah tua, ayah dan ibu bisa makan di sana menemani kakek dengan piring dan gelas plastiknya”.

Sang bapak begitu tersentak mendengar jawaban anak kecilnya yang begitu polos tersebut. Dia langsung merenung bersama istrinya dan kemudian merubah perlakuannya kepada sang kakek. Akhirnya sang kakek kembali diajak makan bersama dalam satu meja dan dilayani dengan penuh kasih sayang oleh mereka berdua.

Sahabat, anak adalah cerminan diri kita sendiri. Mereka akan meniru dengan baik apapun yang mereka lihat dan dengar dari kita. Kalau anak cenderung melakukan berbagai perbuatan yang menurut kita kurang pantas, adalah sangat mungkin setiap hari justru mereka telah belajar dengan baik dari kita. Artinya, mungkin kitalah sumber belajar dari berbagai perbuatan kurang pantas itu. Dan anak kita telah menirunya dengan sangat baik. 

Jangan hanya salahkan mereka, tapi marilah kita berkaca, merenungkan sejenak apa saja yang telah kita lakukan sehingga anak melakukan berbagai perbuatan tersebut. Bukankah dari lingkungannyalah anak-anak belajar? Dan kitalah, orang tuanya, lingkungan terdekat bagi mereka. Selamat merenung dan memperbaiki diri. Hasbunallah wa ni’mal wakiil.

_____________________________
* Penulis adalah Pengurus JSIT Indonesia Wilayah Jawa Timur  & Direktur Lembaga Pendidikan Islam At-Taqwa Gresik.